Wednesday, July 29, 2015

Make or Sell : Permasalahan dalam rantai nilai salak


Apakah salak hasil panen dijual sebagai buah segar ataukah diproduksi menjadi keripik salak? Sebuah pertanyaan yang sering dihadapi oleh petani tatkala memanen komoditas hasil pertanian. Tentunya bagi petani jawabannya adalah, “untung mana antara dijual dengan diolah ?”. Pertanyaan yang sederhana, namun akan berdampak pada rantai nilai maupun rantai pasok komoditas pertanian. Produsen keripik salak akan mencari salak yang sesuai dengan kualitas, harga salak serta biaya produksi. Apabila petani salak hanya mempertimbangkan seberapa marjin apabila menjual sebagai buah kepada tengkulak atau produsen keripik, maka produsen harus mempertimbangkan kualitas, harga, biaya produksi dan marjin apabila dijual. Menguntungkan atau tidak bagi produsen jauh lebih kompleks dibandingkan petani salak, mengingat resiko menanam salak lebih kecil dibandingkan menanam tanaman lain di lahan mereka. Penanaman salak mahal pada saat pertama kali menanam atau biaya set-up besar. Perilaku pelaku dalam rantai pasok sangat bergantung pada rantai nilai salak yang tergantung pada ketersediaan salak sepanjang tahun. Masa panen buah salak berkisar antara 2 hingga 3 tahun sejak masa tanam.

Selengkapnya...

Tuesday, April 22, 2014

Membangun Turi : Integrasi Agrowisata dan Agroindustri

Ketika jalan-jalan di seputaran kota Bogor, aku melihat sebuah pick-up parkir tak jauh dari pagari Istana Bogor. Pick up tersebut menjual buah salak pondoh. Ketika kutanya, darimana mendapatkan salak pondoh tersebut, sang penjual bilang berasal dari Turi, Sleman. Karena penasaran aku tanya pula, apakah langsung dari Turi ataukah melalui pedagang perantara, iapun menjawab ia dapat langsung dari saudaranya dari daerah Tempel, Sleman. Karena merasa memiliki Sleman dan dia merasa bahwa kakek-neneknya juga berasal dari Sleman kamipun lantas ngobrol dengan bahasa Jawa.

Selengkapnya...

Monday, April 21, 2014

Membangun potensi agropolitan Sleman : antara mitos dan realitas ?

Pemerintah Republik Indonesia melalui kementrian-kemetrian maupun melalui dinas-dinas di daerah sedang menggalakkan produk lokal khas daerah untuk meningkatkan daya saing. Sayangnya, visi dan misi yang sangat mulia tersebut masih dalam banyak wacana. Sering sekali dilakukan berbagai workshop untuk melaunching berbagai kekhasan lokal. Seiring dengan inisiatif penggalakan produk khas lokal, pemerintah Indonesia juga sedang menginisiasi aspek Haki produk dan komoditas lokal. Kemunculan komoditas/produk berindikasi geografis untuk berbagai komoditas pertanian layak kita acungi jempol. Kedua inisiatif, baik penggalakan produk khas lokal daerah maupun motivasi pendaftaran indikasi geografis layak kita apresiasi bersama. Harapan kedepan adalah "menaiki gelombang perubahan" daripada dipermainkan oleh "gelombang perubahan" itu sendiri.

Selengkapnya...

Agro-klustering UKM berbasis salak pondoh

Diserahkannya sertifikat indikasi geografis bagi salak pondoh Sleman membawa implikasi pada bagaimana mengelola salak pondoh pada level makro (kebijakan), meso (usaha) dan mikro (proses pemberian nilai tambah).

Sertifikasi indikasi geografis salak pondoh, sejauh manakah dapat berpengaruh terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat penghasil, pelaku ekonomi maupun ekonomi secara umum ? Apakah sertifikasi indikasi geografis secara umum dapat mempengaruhi itu semua ? ataukah hanya akan menjadi sertifikat tanpa dampak ?

Selengkapnya...

Kopi Buah Salak Pondoh Sleman

Kopi buah salak sebenarnya bukanlah sejenis minuman baru di Indonesia. Ia sudah banyak dibuat oleh saudara-saudara kita di Tapanuli Selatan sebagai salah satu minuman khas Tapanuli Selatan. Namun, inovasi biji salak ini kemudian diadopsi oleh beberapa inovator di beberapa daerah penghasil salak di Sleman. Hal ini semakin menambah inovasi anak bangsa untuk meningkatkan value dari hasil pertanian lokal.

Buah ini memiliki nama latin Salacca zalacca dan banyak ditanam di beberapa wilayah Indonesia. Beberapa diantaranya terkenal di beberapa wilayah seperti:
  • Salak sidempuan, dari Sumatera Utara
  • Salak condet, Jakarta
  • Salak pondoh, Sleman
  • Salak bali, Bali
Salak pondoh merupakan hasil utama beberapa kecamatan di wilayah Sleman dan beberapa wilayah Magelang.Di daerah Sleman, salak pondoh banyak ditanam di daeah Kecamatan Tempel, Turi, dan Pakem. Wilayah ini disebut sebagai wilayah wisata agro, dengan kekhasan daerah lereng pegunungan Merapi yang subur. Belum diperoleh sejak kapan tanaman salak dibudidayakan di wilayah-wilayah tersebut, namun yang jelas salak pondoh menjadi salah satu pendapatan utama masyarakat wilayah tersebut.

Gerbang salah satu perkebunan salak di wilayah Sleman


Dengan diserahkannya sertifikasi indikasi geografis, maka salak pondoh diakui kekhasannya dan diharapkan memiliki daya saing di pasar. Namun demikian, berbagai pihak masih meragukan pengaruh indikasi geografis pada harga pasar ? Apakah akan berpengaruh secara signifikan ? Nampaknya valorisasi hanya berbasis indikasi geografis semata belum bisa diharapkan, kecuali dilakukan inovasi yang memberikan nilai tambah pada buah salak.

Beberapa inovasi yang telah dilakukan antara lain, kripik buah salak, jenang buah salak dan sekarang minuman biji salak. Minuman biji salak ini memiliki potensi untuk dikembangkan, tentunya dengan dukungan secara kelembagaan maupun secara proses produksi. Dengan adanya inovasi kopi buah salak, diharapkan salak pondoh memiliki value added tinggi.

Seorang warga dusun Donoasih, Donokerto, Turi, Sleman yang bernama Supriyono melakukan pembuatan serbuk minuman biji salak pondoh. Meski belum diuji secara klinis, namun dianggap memiliki manfaat menurunkan tekanan darah tinggi dan asam urat.
 
Penjajal minuman biji salak pondoh
 
Supriyono mengaku bahwa ia belum berani memasarkan secara komersial karena masih mengurus perizinan. Namun demikian langkah inovasi ini perlu ditindaklanjuti berbagai pihak dan dikembangkan berbasis konsep ABG (Academic, Business dan Government). Namun untuk komoditas pertanian perlu ditambahkan satu lagi pelaku, yaitu suatu lembaga yang dapat menginisiasi inovasi lanjut, mungkin semacam LSM/NGO.

Proses produksi dasar minuman biji salak pondoh dapat dilihat di gambar berikut ini :
 
Proses produksi minuman salak pondoh

Biji salak yang semula dianggap limbah bisa diberikan nilai tambah melalui serangkaian proses sederhana. Simpleksitas pengolahan biji salak ini bukan berarti tanpa inovasi, namun inovasi diperlukan untuk memberikan taste atau citarasa. Belum pernah diadakan uji coba untuk melihat pengaruh pengolahan pada cita rasa. Hal ini perlu dilakukan karena proses pengolahan yang berbeda dapat mempengaruhi citarasa.

Kita ambil contoh pada citarasa kopi yang ternyata dipengaruhi oleh lama penyangraian (roasting), lama holding time yang turut mempengaruhi kadar air dan aktivitas zat organik. Meski terlalu awal untuk melihat inovasi di sisi citarasa, namun nantinya faktor-faktor inilah yang akan berpengaruh.

Kontinyuitas bahan baku juga penting untuk diperhatikan, karena tanpa memperoleh bahan baku yang kontinyu, maka produksi akan terhenti. Solusi yang mungkin bagi calon pengusaha produk berbasis salak adalah membuat pohon industri berbasis salak. Dengan adanya pohon industri berbasis salak, maka dapat diketahui produk nilai tambah apa saja yang bisa diusahakan dari salak. Calon usahawan dapat melihat potensi lain sekaligus memperhitungkan kebutuhan bahan baku.

Supriyono mengaku bahwa 1 kilogram biji salak dapat menghasilkan kurang lebih 1 ons bubuk. Maka berdasarkan hitungan ini perlu dilakukan hitungan kebutuhan bahan baku untuk menghasilkan sekian kilogram bubuk salak. 

Kita tahu, bahwa biji salak dapat diperoleh dari limbah orang memakan salak. Dengan perhitungan itu, dimanakah kira-kira mendapatkan biji salak ? Apakah "mulungi" biji salak dari penjual salak ? Ataukah membuat suatu usaha manisan, jenang, keripik salak sekaligus membuat usaha minuman biji salak ? Bagaimanakah kelembagaannya ? Apakah perlu dibentuk suatu kluster industri salak terintegrasi ?







Selengkapnya...

Tuesday, March 25, 2014

Selamat atas Indikasi Geografis Salak Pondoh

Pertama-tama, saya ucapkan selamat kepada masyarakat/komunitas Salak Pondoh Sleman. Saya ikut merasa berbahagia karena saya memiliki keterikatan emosional dengan Salak Pondoh dan petani salak pondoh. Leluhur saya berasal dari daerah Turi. Di saat liburan dulu, aku sering menginap di rumah nenek di dusun Garongan, Turi, Sleman. Pada saat tertentu di daerah Turi, para petani salak membawa salak hasil petikan ke pasar dengan memakai "tenggok". Jaman dahulu rutinitas petani salak sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi daerah tersebut. Maka, dengan indikasi geografis, saya ikut berharap agar kesejahteraan petani ikut terangkat, bukan hanya kesejahteraan pedagang besar yang sering mendapatkan rente ekonomi yang besar.


Saya sangat concern dengan kemajuan pertanian Indonesia. Bagaimana tidak, sejak jaman dahulu kala hingga sekarang, pertanian itu saya anggap sebuah sektor yang penting, namun sering sekali diabaikan. Dengan munculnya indikasi geografis, paling tidak petani dan rakyat Indonesia bisa mem-proteksi komoditasnya. Marilah sedikit kita kembali pada sejarah pertanian dalam artian khusus dan sejarah penjajahan secara luas.

Masih ingatkah kita tatkala VOC banyak mendapatkan margin keuntungan yang gedhe karena memperdagangkan komoditas pertanian dan perkebunan sehingga untung berlipat ganda ? Setelah Belanda mencakarkan kaki-nya di pulau Jawa dengan mendirikan Pemerintah Hindia Belanda sebagai agen penghisap kekayaan melalui cultuur steelsel ? Masihkah kita ingat pula tatkala Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Pintu Terbuka dan membuka kran kepada pihak swasta untuk berinvestasi menanam berbagai varietas tanaman untuk dijual di pasaran Eropa ?

Saya mencoba untuk tidak menyalahkan bangsa Belanda dalam menghisap kekayaan biomassa Nusantara, karena Belanda tidak akan bisa melakukan itu tanpa kerjasama dengan para tuan tanah dan ndoro-ndoro pribumi. Dengan bekerjasama degan para tuan tanah dan pemimpin-pemimpin pribumi jaman dahulu, VOC mampu meminimalisir biaya operasional rantai pasok sehingga keuntungannya besar. Pun, pemerintah Hindia Belanda mampu mendapatkan supply tiada henti karena memaksa rakyat untuk menanam tanaman perkebunan yang laku di Eropa, sehingga rakyat kelaparan karena lahan sebagian besar digunakan untuk menanam tanaman perkebunan.

Jaman penjajahan ekonomi di Jawa pada era VOC maupun pada era Hindia Belanda dengan sarana dan mekanisme berbeda seharusnya membuat kita sadar. Membuat kita sadar bahwasanya petani tidak pernah mendapatkan kesejahteraan. Petani menanam komoditas yang sangat laku dengan todongan senjata dari penjajah londo maupun pribumi, namun tidak memiliki kesejahteraan. Ketika harga di dunia membumbung tinggi, petani tidak mendapatkan apa-apa, sedangkan ketika harga turun, petani terlebih akan sengsara. Saat inipun apabila mendengar istilah rantai pasok pertanian, petani tidak dipertimbangkan masuk ke dalam pelaku rantai pasok. Pedagang antaralah yang dianggap sebagai ujung tombak rantai pasok, sehingga economic rente berhenti sampai pedagang perantara. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perbedaan (indiferensi) dalam komoditas pertanian.

Salah satu upaya untuk melakukan indiferensiasi adalah dengan Indikasi geografis sekedar proteksi ?. Kita sebenarnya harus sadar bahwasanya komoditas pertanian itu berbeda-beda dan memiliki kekhasan. Semisal Salak Pondoh yang rasanya berbeda dengan Salak Bali atau salak dari daerah lain. Apabila tidak ada kekhasan yang muncul dalam perdagangan komoditas pertanian, maka akan terjadi pencampuran dan indiferensiasi. Pedagang antara akan dengan seenaknya mencampur komoditas kopi, misalnya, yang memiliki perbedaan khas antar daerah penghasil maupun antar varietas (Robusta-Arabica). Saya pernah ngobrol dengan beberapa petani kopi dari Bengkulu yang membenarkan bahwa tidak ada perbedaan antara robusta dan arabica akan menyebabkan petani malas untuk menghasilkan atau menjual kopi Arabica yang bermutu karena toh harga Arabica dan Robusta sama di pasaran atau berbeda jauh. Beberapa petani kopi dari Mandailing pernah mengatakan bahwa indikasi geografis Mandailing pada suatu waktu mampu mendongkrak harga Arabica Mandailing di pasaran. Hal inilah yang kemudian membuat Salak Pondoh dianggap semakin potensial ketika memiliki sertifikat indikasi geografis. Namun, apakah demikian ?

Salak pondoh bukanlah kopi Arabica yang supply-nya sangat diharapkan oleh perusahaan korporasi internasional. Pada kasus kopi, sebelum adanya de-komoditasi indikasi geografis, terjadi "coffee paradox" terjadi. Coffee paradox terjadi tatkala pendapatan di daerah asal kopi, dalam hal ini petani di daerah tropis dan subtropis memperoleh nilai ekonomis yang kecil, sedangkan di daerah konsumen di luarnegeri, keuntungan para roaster berlipat-lipat ganda karena berbagai faktor, termasuk faktor perbedaan nilai mata uang. Dengan adanya indikasi geografis pada kopi, maka kopi mengalami de-komoditasi, sehingga diferensiasi terjadi. Korporasi besar apabila ingin menjual kopi Arabica yang berkualitas tinggi harus rela merogoh koceknya lebih dalam lagi. Produk-produk berindikasi geografis yang berhasil, ternyata menyebabkan rantai pasok menjadi pendek, sehingga transmisi harga sampai petani menjadi relatif langsung dan tidak melalui rantai pasok yang panjang. Lalu, bagaimanakah dengan Salak Pondoh Sleman ? Pasar manakah yang akan digapai ? Dan apakah diferensiasi pada salak pondoh sangat diperlukan untuk meningkatkan harga salak pondoh. Studi mengenai hal ini sangat penting untuk dilakukan.
Selengkapnya...

Thursday, May 5, 2011

Kuliner Sleman : Brongkos Warung Ijo Bu Padmo

Brongkos Warung Ijo Bu Padmo, demikian bunyi tulisan di sebuah warung sederhana bercat hijau di bawah jembatan Krasak, Tempel, Sleman, DIY. Orang tidak akan percaya bahwa warung ini termasuk salah satu dari sekian banyak kuliner Nusantara yang pernah disambangi Pak Bondan "mak nyuus". Sepintas warung ini tidak ada bedanya dengan warung makan di sebuah pasar yang terletak diantara dua kota. Namun apabila telah memesan dan menikmatinya, hmmmmmmm, mak nyuuuuus. Saya menyempatkan mampir ke warung tersebut dengan istri saya dan menikmati dua porsi nasi dengan brongkos yang terkenal itu, dua gelas teh manis, dan sebuah pergedel kenthang semuanya seharga Rp. 34.000,-. Lumayan mahal untuk masyarakat sekitar warung tersebut, namun bagi anda pecinta kuliner pasti akan mengatakan, "mak nyuuuuuus, worth it Jek till the last spoon". 
Selengkapnya...