Monday, November 8, 2010

Mengapa para pengungsi Merapi bandel pulang ke rumah ?


Banyak yang mengira, para pengungsi Merapi adalah manusia-manusia bandel yang tidak tau betapa berharganya nyawa dan keselamatan diri. Namun, apabila dianalisis lebih mendalam, "kebandelan" mereka itu beralasan.


Mereka sebagian besar adalah orang-orang bebas tidak terikat oleh organisasi dan hidup dari alam. Berbeda dengan sebagian besar pemirsa di kota yang hidup dari gaji di perusahaan, baik sebagai "blue collar" maupun "white collar", bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil, namun bekerja sehari-hari sebagai petani dan peternak maupun penambang pasir yang bekerja menggunakan tenaga. Dengan mata pencaharian sebagai petani, peternak dan penambang, wajar apabila pengungsi yang sebagian besar hidup di lereng Merapi itu mengalami stress dan hendak pulang ke rumah terus. Tidak sedikit diantara mereka yang nekat untuk menyabung nyawa mengambil pasir di kali yang masih syarat dengan bahaya lahar dingin.

Sebagai peternak dan petani, mereka menginvestasikan modalnya untuk menanami lahan/sawah maupun membesarkan ternak. Bagi para petani, barangkali stress-lah yang mereka alami, karena kerusakan pada lahan/sawah berarti pula hilangnya modal maupun keuntungan dari yang mereka tanam. Lahan Salak yang ada di wilayah Turi, Pakem dan Magelang barangkali baru bisa menghasilkan lagi setelah tiga tahun. Pohon Salak yang rusak terkena abu harus diremajakan ulang maupun diganti dengan yang baru. Proses ini memerlukan investasi yang tidak sedikit karena mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli pupuk, bibit dan lain sebagainya. Bagi para peternak, barangkali mereka ingin menengok dan memberi pakan kepada ternak mereka. Ternak bagi para peternak adalah seperti surat-surat berharga, saham, tabungan bagi keluarga dan anak-anak mereka. Bahkan, sebagian dari ternak-ternak tersebut sudah siap mereka jual untuk Hari Raya Iedul Adha. Bagi para penambang, hidup ongkang-ongkang di tempat pengungsian bukan sebuah pilihan  yang mudah. Mereka sudah tertempa dengan kehidupan yang keras, nampaknya tempat pengungsianlah tempat yang paling tepat untuk membuat mereka menjadi cengeng dan tidak mandiri. Toh, para penambang tersebut juga setelah keluar dari pengungsian membutuhkan modal untuk hidup menjalani kehidupan selanjutnya.

Paling tidak, para stakeholder harus mempertimbangkan perlunya relokasi ataukah pembangunan kembali wilayah setelah bencana. Namun demikian relokasi dan pembangunan kembali ini perlu mempertimbangkan :
1) Daya dukung sumberdaya wilayah yang menjadi daerah tujuan relokasi
2) Aspek kesesuaian kultural pengungsi dengan wilayah tujuan relokasi
3) Dana pembangunan juga mencakup modal awal untuk memulai hidup baru bagi wilayah-wilayah yang terkena dampak parah

Jadi, dapat dibayangkan bagaimana para pengungsi ini sangat bergantung pada lahan/sawah dan ternak-ternak mereka untuk hidup setelah mereka keluar dari pengungsian. Bahkan sebagian diantaranya akan kembali bergelut dengan ancaman lahar dingin. Masalah pengungsian ini bukanlah masalah sepele, karena permasalahan pengungsi ini bukan hanya permasalahan pra-bencana maupun pada saat bencana, namun paska bencana ini perlu diperhatikan dan diselesaikan secara sistemik dan sistematis.

No comments:

Post a Comment