Monday, November 29, 2010

NKRI Harga Mati, Keistimewaan DIY sampai Mati !!!


Demikianlah beberapa kata yang dilontarkan warga DIY yang sebagian besar menginginkan dan mempertahankan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono kaping IX


Penulis merupakan warga asli DIY yang kebetulan lahir di Sleman, merasakan keterharuan tatkala beberapa stasiun televisi swasta menayangkan proses jumenengan Sri Sultan HB IX ketika beliau didaulat menjadi Raja Ngayogyakarta Hadiningrat. Betapa tidak, Sri Sultan HB IX, bukan hanya sekedar raja Ngayogyakarta Hadiningrat, namun sekaligus pahlawan dan suri tauladan bagi rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat maupun Nusantara. Suri tauladan akan keseimbangan dan kesetimbangan bertemunya tradisi dan modernisme di kala itu, antara berpendidikan Barat dan ke-Jawa-an (baca : pribumi-Indonesia), laku-fikir-rasa, serta kebesaran jiwa-nya untuk melepaskan kekuasaan untuk rakyat sebagaimana dalam kalimat : TAHTA UNTUK RAKYAT.....Dan, pengorbanan dan kebesaran jiwanyalah yang justru mengukirkan namanya sampai sekarang, terkenang di hati sanubari rakyatnya, inspirator sampai sekarang....

Siapapun pasti ingat kisah konstruksi Selokan Mataram yang digagas oleh Sri Sultan HB IX tatkala Dai Nippon menguasai Hindia Belanda. Pada waktu itu, Dai Nippon memaksa rakyat jelata untuk kerja paksa (baca Romusha). Kerja paksa itu sangatlah kejam dan keras, karena pada waktu itu Dai Nippon sedang dalam kondisi terhimpit oleh sekutu sehingga mengerahkan semua sumberdaya manusia termasuk rakyat jelata di negeri-negeri jajahannya. Pada waktu itu, Sultan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat bersedia untuk tunduk kepada Dai Nippon, dengan syarat rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat tetap berada di bawah kekuasaan Sultan. Untuk lebih meyakinkan Dai Nippon, Sinuhun IX membuat semacam skema pembangunan saluran irigasi yang menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak sehingga akan memudahkan Dai Nippon mendapatkan sumber daya alam. Ternyata, taktik Sinuhun disetujui dan dibuatlah saluran Selokan Mataram dengan tenaga rakyat yang digaji oleh Sultan. 


Salah satu sudut Selokan Mataram di tahun 2009





Teringat beberapa kata beliau yang terkenal, 

''Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa,'' 
(Cuplikan kalimat beliau dalam proses Jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX)
 
''Apa pun yang terjadi, saya tidak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat, demi keselamatan keraton dan rakyat,'' 
(Menjelang masuknya Jepang, bangsawan Jawa banyak yang khawatir akan tentara penjajah yang menggantikan Belanda ini. Mereka mengajak Sultan menyingkir ke Australia, atau ke Belanda.) 


Kedudukan Yogyakarta sebagai daerah RI menjadi lebih kokoh dengan Amanat Bersama HB IX dan PA VIII bertanggal 30 Oktober 1945 menanggapi perkembangan kehidupan kenegaraan RI, terutama setelah dikeluarkannya Maklumat pemerintah No. X (eks) tanggal 16 Oktober 1945 dan perebutan senjata yang berhasil pada tanggal 6/7 Oktober 1945. pernyataan itu berisi pokok kesediaan kerajaan Yogyakarta dan Pakualam untuk menaati UUD-RI, membentuk Badan pekerja KNID sebagai badan perwakilan rakyat dan HB IX dan PA VIII sebagai Kepala Daerah Istimewa. Dalam amanat itu tidak disebut pengaturan status HB IX dan PA VIII, tetapi secara de facto HB IX bertindak sebagai Kepala daerah dan PA VIII sebagai Wakil Kepala daerah. Singkat kata, integrasi demikian itu sungguh memperkokoh status kerajaan Yogyakarta dan Pakualaman sebagai bagian dari RI dan status HB IX dan PA VIII yang secara de facto menjadi Kepala dan Wakil Kepala Daweah Istimewa Yogyakarta.

Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari pidato radio yang diucapkan beberapa saat sesudah proklamasi, yang di antaranya berbunyi sebagai berikut :

Proklamasi kemerdekaan ini tidak akan hanya diucapkan dengan kata-kata saja, melainkan akan diwujudkan dengan perbuatan. Perbuatan-perbuatan untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya ingin dan mau, akan tetapi dapat dan tahan memiliki kemerdekaan. Nasib Nusa dan Bangsa adalah di tangan kita, tergantung kepada kita sendiri.
Maka tiada kecualinya kita harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama ialah menjaga, memelihara dan membela kemerdekaan Nusa dan Bangsa. Tiap-tiap golongan harus sanggup mengesampingkan kepentingan, sanggup untuk mencapai persatuan yang bulat dan kokoh, sehingga bangsa Indonesia bisa mendapatkan senjata untuk mempertahankan republiknya;  agar dapat mempertanggung jawabkan pada generasi-generasi bangsa Indonesia yang akan datang, dan agar dapat membuat sejarah yang gemilang …..


Pada saat genting-gentingnya Revolusi Kemerdekaan, Ngayogyakarta Hadiningrat beserta Kadipaten Pakualaman mendeklarasikan bergabung dengan NKRI. Pada saat itu, banyak sekali raja-raja, penguasa-penguasa wilayah lain yang masih ragu-ragu memihak NKRI. Namun Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman melakukan hal itu. 

Pada saat Revolusi Kemerdekaan II, tatkala Belanda menginginkan wilayah Hindia Belanda kembali dengan membuat skema BFO, Sri Sultan HB IX memberikan perlindungan kepada Pemerintah RI untuk berkantor di Yogyakarta dan bahkan karena keterbatasan sumber daya, Sri Sultan "menghidupi" administrasi pemerintahan RI dengan uang kas keraton.

Demikian sekilas info mengenai peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam NKRI dan beberapa tauladan akan kebesaran jiwanya yang patut menjadi tauladan bukan hanya bagi insan Ngayogyakarta Hadiningrat, namun bagi insan Nusantara.........Maka dengan ini NKRI harga mati, Keistimewaan DIY sampai mati, karena adanya NKRI tidak lepas dari DIY dan adanya DIY tidak bisa lepas dari NKRI......

No comments:

Post a Comment