Selama ini sebagian besar orang Indonesia beranggapan bahwa mbangun deso identik dengan gagap teknologi alias lebay abiiiiiis ngga paham teknologi. Padahal, banyak sekali inovasi yang dapat dilakukan dengan menggabungkan antara potensi lokal dan teknologi. Selama ini para pemuda desa menyalahartikan modernitas dan teknologi, sehingga tidak bisa menjadikan teknologi sebagai alat, namun justru sebaliknya malah dijadikan alat oleh teknologi untuk memasarkan teknologi. Heran ?
Suatu saat saya melihat seorang pemuda lulusan SMA sedang menggunakan internet di sebuah kecamatan di desa hanya untuk mengakses situs porno. Penyalahgunaan internet untuk hal-hal yang tidak berguna, bahkan membahayakan apabila salah. Sang pemuda itu, bisa menghabiskan waktu lebih dari tiga jam sehari untuk pergi ke warnet di kota kecamatan dengan menggunakan uang saku dari orang tuanya.
Saya bukanlah anti internet masuk pedesaan, karena saya sendiri paling tidak sehari online untuk kontak teman-teman saya yang sedang studi di luar negeri maupun membuka ide-ide baru. Saya hanya bermimpi, apabila internet ini bisa digunakan sebagai alat untuk menjual apa saja yang berbau lokal, sehingga laku di ranah nasional, regional maupun internasional. Di India, internet telah menginspirasi berbagai pihak, termasuk di dalamnya membentuk e-Farm, sebuah sistem pengelolaan rantai pasok hasil pertanian yang menghubungkan antara petani, pedagang perantara dan pada ujung rantai, konsumen. Untuk mendapatkan cara kerja e-Farm di India, dapat dilihat pada video di YouTube (Silahkan click).
Bagaimanakah hal ini bisa dilaksanakan di Indonesia pada umumnya dan Sleman pada khususnya ? Sebagian besar warga Sleman pasti akan skeptis, bahkan apriori terhadap konsep e-Farm ini, namun apabila kita analisis konsep e-Farm ini bisa diterapkan dengan mengelola yang telah ada yang bahkan selama ini hanya menjadi aset yang menganggur dan tidak berfungsi. Sebagai ilustrasi sederhana, pengelolaan Pasar Agropolitan di Turi yang selama ini nampak sepi (paling tidak dalam kacamata orang awam seperti saya ini).
Selama ini, pasar Agropolitan yang dimaksudkan sebagai sentra perdagangan di Donokerto ini tidaklah seramai yang diharapkan, bahkan sekarang ini nampak seperti "pasar hantu". Seorang rekan saya yang ikut serta dalam perburuan foto berseloroh, "Andaikata di sekitarnya terdapat pohon beringin, dapat dipastikan pasar agropolitan ini menjadi pada akhirnya malah menjadi pasar jin beneran". Lalu, kami berdua "ngakak" sambil memotret sudut yang paling representatif untuk mengutarakan "ke-hantu-an" itu.
Sebenanrya, pasar Agropolitan semacam ini bisa menjadi semacam "supply hub" dimana di pasar tersebut terdapat pusat informasi harga salak pondoh beserta hasil bumi lain sehingga petani bisa menjual produk-produknya di pasar ini sebagai supplier. Di ujung lain sana, jaringan terhubung dengan sebuah sentra virtual dimana terdapat informasi mengenai ketersediaan supply dan demand berikut harga di pasaran. Selama ini, terdapat semacam assymetric information dalam rantai pasok hasil bumi sehingga petani tidak memiliki akses informasi pasar mengenai harga beserta fluktuasinya. Dengan adanya e-Farm ini, informasi asimetrik (assymetric information) mengenai harga dan kuantitas dapat dikurangi karena terdapat transparasi harga.
Dengan melihat keberhasilan pembangunan di India dengan e-Farm ini, kemudian kita layak bertanya, apa yang dimiliki oleh orang India yang kita tidak miliki dan apa yang harus dimiliki agar e-Farm bisa berhasil. Last but not least, maukah kita membangun desa tanpa meninggalkan teknologi dan mengadopsi teknologi tanpa melupakan pembangunan pedesaan. Bukankah dengan masuknya internet "digital divide" bisa dikurangi ? Barangkali internet akan dilihat sebagai sarana teknologi lain, sebagaimana traktor yang digunakan untuk menggantikan sarana membajak sawah yang dahulu digunakan oleh kakek-nenek kita di pedesaan, yaitu "bajak plus kerbau".
Hal yang tetap di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Dan, apabila perubahan itu "inevitable", bisakah kita menumpangi perubahan itu dan bukannya ditumpangi sampai "gepeng" ?
MAD
Selengkapnya...