Thursday, December 17, 2009

The Riverside Jogja : Membangun sebuah cottage dan cafe di pedesaan

The Riverside Jogja, demikianlah nama sebuah cottage and cafe yang ada di dusun Kalireso,Candibinangun,Pakem,Sleman. Sebuah tempat asri nan alami ditepi sungai Boyong, tepat di atas rumah makan Boyong Kalegan.Teuku Dalin, sang pemilik mengajakku berkeliling "kompleks" cottage and cafe nan mungil tersebut. Sebagai seorang yang bergerak dalam dunia entertainment dan social empowerment, Bang Dalin ini memiliki visi bahwasanya membangun pariwisata dapat dilakukan melalui hal-hal yang sepele. Ia menambahkan bahwa apabila desa wisata di Sleman ingin maju, maka yang harus dilakukan adalah promosi dan pembenahan-pembenahan.Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa ketika wisatawan mancanegara berkunjung ke sebuah desa wisata yang mereka inginkan adalah suasana alami plus. Maksud plus disini adalah, sajikan makanan, minuman yang sealami mungkin namun masalah MCK harus bersih.

The Riverside Jogja terdiri dari sebuah cafe yang berbentuk joglo dan dua buah cottage. Pengunjung yang berasal dari kota besar, biasanya senang sekali dengan suasana sungai Boyong yang sejuk dan rindangnya pepohonan.



Untuk dapat melihat informasi lebih jauh mengenai The Riverside Jogja ini, dapat mengunjungi website resmi di http://www.riverside-jogja.com/


Selengkapnya...

Saturday, December 12, 2009

Mbangun deso bukan berarti gaptek coy !!!

Selama ini sebagian besar orang Indonesia beranggapan bahwa mbangun deso identik dengan gagap teknologi alias lebay abiiiiiis ngga paham teknologi. Padahal, banyak sekali inovasi yang dapat dilakukan dengan menggabungkan antara potensi lokal dan teknologi. Selama ini para pemuda desa menyalahartikan modernitas dan teknologi, sehingga tidak bisa menjadikan teknologi sebagai alat, namun justru sebaliknya malah dijadikan alat oleh teknologi untuk memasarkan teknologi. Heran ?

Suatu saat saya melihat seorang pemuda lulusan SMA sedang menggunakan internet di sebuah kecamatan di desa hanya untuk mengakses situs porno. Penyalahgunaan internet untuk hal-hal yang tidak berguna, bahkan membahayakan apabila salah. Sang pemuda itu, bisa menghabiskan waktu lebih dari tiga jam sehari untuk pergi ke warnet di kota kecamatan dengan menggunakan uang saku dari orang tuanya.
Saya bukanlah anti internet masuk pedesaan, karena saya sendiri paling tidak sehari online untuk kontak teman-teman saya yang sedang studi di luar negeri maupun membuka ide-ide baru. Saya hanya bermimpi, apabila internet ini bisa digunakan sebagai alat untuk menjual apa saja yang berbau lokal, sehingga laku di ranah nasional, regional maupun internasional. Di India, internet telah menginspirasi berbagai pihak, termasuk di dalamnya membentuk e-Farm, sebuah sistem pengelolaan rantai pasok hasil pertanian yang menghubungkan antara petani, pedagang perantara dan pada ujung rantai, konsumen. Untuk mendapatkan cara kerja e-Farm di India, dapat dilihat pada video di YouTube (Silahkan click).

Bagaimanakah hal ini bisa dilaksanakan di Indonesia pada umumnya dan Sleman pada khususnya ? Sebagian besar warga Sleman pasti akan skeptis, bahkan apriori terhadap konsep e-Farm ini, namun apabila kita analisis konsep e-Farm ini bisa diterapkan dengan mengelola yang telah ada yang bahkan selama ini hanya menjadi aset yang menganggur dan tidak berfungsi. Sebagai ilustrasi sederhana, pengelolaan Pasar Agropolitan di Turi yang selama ini nampak sepi (paling tidak dalam kacamata orang awam seperti saya ini).

Selama ini, pasar Agropolitan yang dimaksudkan sebagai sentra perdagangan di Donokerto ini tidaklah seramai yang diharapkan, bahkan sekarang ini nampak seperti "pasar hantu". Seorang rekan saya yang ikut serta dalam perburuan foto berseloroh, "Andaikata di sekitarnya terdapat pohon beringin, dapat dipastikan pasar agropolitan ini menjadi pada akhirnya malah menjadi pasar jin beneran". Lalu, kami berdua "ngakak" sambil memotret sudut yang paling representatif untuk mengutarakan "ke-hantu-an" itu.

Sebenanrya, pasar Agropolitan semacam ini bisa menjadi semacam "supply hub" dimana di pasar tersebut terdapat pusat informasi harga salak pondoh beserta hasil bumi lain sehingga petani bisa menjual produk-produknya di pasar ini sebagai supplier. Di ujung lain sana, jaringan terhubung dengan sebuah sentra virtual dimana terdapat informasi mengenai ketersediaan supply dan demand berikut harga di pasaran. Selama ini, terdapat semacam assymetric information dalam rantai pasok hasil bumi sehingga petani tidak memiliki akses informasi pasar mengenai harga beserta fluktuasinya. Dengan adanya e-Farm ini, informasi asimetrik (assymetric information) mengenai harga dan kuantitas dapat dikurangi karena terdapat transparasi harga.

Dengan melihat keberhasilan pembangunan di India dengan e-Farm ini, kemudian kita layak bertanya, apa yang dimiliki oleh orang India yang kita tidak miliki dan apa yang harus dimiliki agar e-Farm bisa berhasil. Last but not least, maukah kita membangun desa tanpa meninggalkan teknologi dan mengadopsi teknologi tanpa melupakan pembangunan pedesaan. Bukankah dengan masuknya internet "digital divide" bisa dikurangi ? Barangkali internet akan dilihat sebagai sarana teknologi lain, sebagaimana traktor yang digunakan untuk menggantikan sarana membajak sawah yang dahulu digunakan oleh kakek-nenek kita di pedesaan, yaitu "bajak plus kerbau".

Hal yang tetap di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Dan, apabila perubahan itu "inevitable", bisakah kita menumpangi perubahan itu dan bukannya ditumpangi sampai "gepeng" ?

MAD











Selengkapnya...

Sunday, December 6, 2009

Pasar : antara yang tradisional dan modern

Pasar atau market, sebuah kata yang berarti tempat bertemunya penjual dan pembeli. Berdasarkan definisinya, maka pasar merupakan sebuah tempat baik virtual maupun riil dimana penjual sebuah produk atau jasa bertemu dengan pembeli produk atau jasa dimana di dalamnya terdapat tawar menawar antara supply, demand dan harga.
Dalam konteks tradisional jaman dahulu di pedesaan, pasar merupakan tempat jual beli yang ada pada suatu wilayah (biasanya kalau di Sleman di tingkat kelurahan dan kecamatan) dimana penjual dan pembeli bertemu pada saat yang telah ditentukan sesuai dengan hari pasaran. Pasar Tempel yang setiap hari ada aktivitas pasar dibandingkan Pasar Turi yang beraktivitas pada hari pasaran tertentu.

Pasar Cebongan yang terletak di kelurahan Cebongan, kecamatan Seyegan

Kecamatan Seyegan satellite map


Selengkapnya...

Saturday, December 5, 2009

Mengunjungi "Deso" : masih prospekkah desa wisata di Sleman ?

Beberapa dekade yang lalu, barangkali orang masih asing dengan istilah desa wisata atau village tourism. Namun, bagi orang yang hidup pada era abad 21, istilah village tourism bukanlah sesuatu yang asing lagi. Banyak sekali pengunjung dari seluruh dunia mencari destinasi wisata desa di belahan bumi lain untuk berkunjung dan berlibur. Sebagai ilustrasi, seorang turis asal Eropa yang tertarik untuk datang ke sebuah desa di India untuk menyatu dengan alam dan penduduk desa. Seorang bisnisman dari Singapore yang tertarik untuk melihat nuansa pegunungan dan melihat tanaman padi di sawah atau ingin memetik buah sendiri di kebun. Di era seperti sekarang ini, hal itu sudah lazim. Singkat kata, apabila kota Paris memiliki menara Eifel dan gaya hidup jet set, maka pada suatu saat nantinya, Sleman-pun memiliki sawah, ladang serta budaya yang menarik untuk dikunjungi. Apakah visi ini terlampau berlebihan apabila melihat situasi dan kondisi yang ada sekarang ini ?Bagaimanakah desa wisata di Indonesia pada umumnya dan Sleman pada khususnya ? Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 60 desa wisata dan empatpuluh diantaranya terdapat di Sleman. Apakah keempatpuluh desa wisata di Sleman berkualitas ataukah hanya sekedar wilayah-wilayah yang diberi umbul-umbul karena adanya lomba desa wisata tingkat kabupaten ?

Diantara ciri khas yang membedakan satu desa wisata dengan desa wisata yang lainnya diantaranya adalah penekanan pada aspek alam dan pertanian, budaya dan kerajinan. Meski berakar dari basis yang sama, namun pengembangannya berbeda-beda. Kampung Wisata Garongan, misalnya berbeda dengan kampung wisata Kelor. Kampung wisata Garongan memfokuskan diri pada pasar ikan, buah peppino dan kesenian tradisional sedangkan kampung wisata Kelor memfokuskan pada kebun salak pondoh, wisata sejarah (peninggalan joglo dan kemerdekaan) dan kesenian tradisional. Sepintas kelihatan sama, nama citarasa keduanya berbeda.


Pasar ikan dan pemancingan Garongan sangat terkenal. Berikut ini adalah penunjuk jalan menuju pasar ikan dan pemancingan Garongan. Desa wisata kampung sejarah Kelor memiliki kekhasan dibandingkan Garongan. Ada outbound dan homestay di desa wisata ini.






Berdasarkan obyek-obyek yang ditawarkan tersebut dapat dikatakan bahwa wisata pedesaan tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk Eco-Tourism yang dewasa ini baru gencar-gencarnya dikembangkan di seluruh dunia. Sebagaimana sebuah desa wisata di Nepal yang bisa "dijual" dengan mudah karena citra Nepal sebagai tempat wisata spiritual dan pegunungan. Sedangkan sebuah desa wisata di Eropa yang menawarkan paket wisata desa penghasil anggur terbaik di dunia. Bagaimanakah dengan Indonesia ?

Banyak sekali desa wisata di Indonesia yang berhasil adalah yang berada di Pulau Bali, karena kultur dan budaya Bali sangat mendukung berikut promosi yang dilakukan berbagai pihak yang berkompeten. Di wilayah Sleman,tingkat hunian belum optimal (sumber : Media Indonesia) karena selama ini upaya-upaya yang dilakukan tidak kontinyu. Oleh karena itu, agar bisa dibentuk desa wisata yang bagus, maka upaya yang dilakukan haruslah digarap serius dan persistent. Tanpa itu, maka desa wisata yang maju, hanyalah menjadi sebuah impian belaka. Bukanlah sesuatu yang berlebihan apabila pada PILKADA mendatang, rakyat Sleman memilih Bupati yang memiliki program yang serius menangani desa wisata ini. MAD.

Selengkapnya...