Tuesday, March 25, 2014

Selamat atas Indikasi Geografis Salak Pondoh

Pertama-tama, saya ucapkan selamat kepada masyarakat/komunitas Salak Pondoh Sleman. Saya ikut merasa berbahagia karena saya memiliki keterikatan emosional dengan Salak Pondoh dan petani salak pondoh. Leluhur saya berasal dari daerah Turi. Di saat liburan dulu, aku sering menginap di rumah nenek di dusun Garongan, Turi, Sleman. Pada saat tertentu di daerah Turi, para petani salak membawa salak hasil petikan ke pasar dengan memakai "tenggok". Jaman dahulu rutinitas petani salak sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi daerah tersebut. Maka, dengan indikasi geografis, saya ikut berharap agar kesejahteraan petani ikut terangkat, bukan hanya kesejahteraan pedagang besar yang sering mendapatkan rente ekonomi yang besar.


Saya sangat concern dengan kemajuan pertanian Indonesia. Bagaimana tidak, sejak jaman dahulu kala hingga sekarang, pertanian itu saya anggap sebuah sektor yang penting, namun sering sekali diabaikan. Dengan munculnya indikasi geografis, paling tidak petani dan rakyat Indonesia bisa mem-proteksi komoditasnya. Marilah sedikit kita kembali pada sejarah pertanian dalam artian khusus dan sejarah penjajahan secara luas.

Masih ingatkah kita tatkala VOC banyak mendapatkan margin keuntungan yang gedhe karena memperdagangkan komoditas pertanian dan perkebunan sehingga untung berlipat ganda ? Setelah Belanda mencakarkan kaki-nya di pulau Jawa dengan mendirikan Pemerintah Hindia Belanda sebagai agen penghisap kekayaan melalui cultuur steelsel ? Masihkah kita ingat pula tatkala Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Pintu Terbuka dan membuka kran kepada pihak swasta untuk berinvestasi menanam berbagai varietas tanaman untuk dijual di pasaran Eropa ?

Saya mencoba untuk tidak menyalahkan bangsa Belanda dalam menghisap kekayaan biomassa Nusantara, karena Belanda tidak akan bisa melakukan itu tanpa kerjasama dengan para tuan tanah dan ndoro-ndoro pribumi. Dengan bekerjasama degan para tuan tanah dan pemimpin-pemimpin pribumi jaman dahulu, VOC mampu meminimalisir biaya operasional rantai pasok sehingga keuntungannya besar. Pun, pemerintah Hindia Belanda mampu mendapatkan supply tiada henti karena memaksa rakyat untuk menanam tanaman perkebunan yang laku di Eropa, sehingga rakyat kelaparan karena lahan sebagian besar digunakan untuk menanam tanaman perkebunan.

Jaman penjajahan ekonomi di Jawa pada era VOC maupun pada era Hindia Belanda dengan sarana dan mekanisme berbeda seharusnya membuat kita sadar. Membuat kita sadar bahwasanya petani tidak pernah mendapatkan kesejahteraan. Petani menanam komoditas yang sangat laku dengan todongan senjata dari penjajah londo maupun pribumi, namun tidak memiliki kesejahteraan. Ketika harga di dunia membumbung tinggi, petani tidak mendapatkan apa-apa, sedangkan ketika harga turun, petani terlebih akan sengsara. Saat inipun apabila mendengar istilah rantai pasok pertanian, petani tidak dipertimbangkan masuk ke dalam pelaku rantai pasok. Pedagang antaralah yang dianggap sebagai ujung tombak rantai pasok, sehingga economic rente berhenti sampai pedagang perantara. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perbedaan (indiferensi) dalam komoditas pertanian.

Salah satu upaya untuk melakukan indiferensiasi adalah dengan Indikasi geografis sekedar proteksi ?. Kita sebenarnya harus sadar bahwasanya komoditas pertanian itu berbeda-beda dan memiliki kekhasan. Semisal Salak Pondoh yang rasanya berbeda dengan Salak Bali atau salak dari daerah lain. Apabila tidak ada kekhasan yang muncul dalam perdagangan komoditas pertanian, maka akan terjadi pencampuran dan indiferensiasi. Pedagang antara akan dengan seenaknya mencampur komoditas kopi, misalnya, yang memiliki perbedaan khas antar daerah penghasil maupun antar varietas (Robusta-Arabica). Saya pernah ngobrol dengan beberapa petani kopi dari Bengkulu yang membenarkan bahwa tidak ada perbedaan antara robusta dan arabica akan menyebabkan petani malas untuk menghasilkan atau menjual kopi Arabica yang bermutu karena toh harga Arabica dan Robusta sama di pasaran atau berbeda jauh. Beberapa petani kopi dari Mandailing pernah mengatakan bahwa indikasi geografis Mandailing pada suatu waktu mampu mendongkrak harga Arabica Mandailing di pasaran. Hal inilah yang kemudian membuat Salak Pondoh dianggap semakin potensial ketika memiliki sertifikat indikasi geografis. Namun, apakah demikian ?

Salak pondoh bukanlah kopi Arabica yang supply-nya sangat diharapkan oleh perusahaan korporasi internasional. Pada kasus kopi, sebelum adanya de-komoditasi indikasi geografis, terjadi "coffee paradox" terjadi. Coffee paradox terjadi tatkala pendapatan di daerah asal kopi, dalam hal ini petani di daerah tropis dan subtropis memperoleh nilai ekonomis yang kecil, sedangkan di daerah konsumen di luarnegeri, keuntungan para roaster berlipat-lipat ganda karena berbagai faktor, termasuk faktor perbedaan nilai mata uang. Dengan adanya indikasi geografis pada kopi, maka kopi mengalami de-komoditasi, sehingga diferensiasi terjadi. Korporasi besar apabila ingin menjual kopi Arabica yang berkualitas tinggi harus rela merogoh koceknya lebih dalam lagi. Produk-produk berindikasi geografis yang berhasil, ternyata menyebabkan rantai pasok menjadi pendek, sehingga transmisi harga sampai petani menjadi relatif langsung dan tidak melalui rantai pasok yang panjang. Lalu, bagaimanakah dengan Salak Pondoh Sleman ? Pasar manakah yang akan digapai ? Dan apakah diferensiasi pada salak pondoh sangat diperlukan untuk meningkatkan harga salak pondoh. Studi mengenai hal ini sangat penting untuk dilakukan.
Selengkapnya...