Tuesday, April 22, 2014

Membangun Turi : Integrasi Agrowisata dan Agroindustri

Ketika jalan-jalan di seputaran kota Bogor, aku melihat sebuah pick-up parkir tak jauh dari pagari Istana Bogor. Pick up tersebut menjual buah salak pondoh. Ketika kutanya, darimana mendapatkan salak pondoh tersebut, sang penjual bilang berasal dari Turi, Sleman. Karena penasaran aku tanya pula, apakah langsung dari Turi ataukah melalui pedagang perantara, iapun menjawab ia dapat langsung dari saudaranya dari daerah Tempel, Sleman. Karena merasa memiliki Sleman dan dia merasa bahwa kakek-neneknya juga berasal dari Sleman kamipun lantas ngobrol dengan bahasa Jawa.

Selengkapnya...

Monday, April 21, 2014

Membangun potensi agropolitan Sleman : antara mitos dan realitas ?

Pemerintah Republik Indonesia melalui kementrian-kemetrian maupun melalui dinas-dinas di daerah sedang menggalakkan produk lokal khas daerah untuk meningkatkan daya saing. Sayangnya, visi dan misi yang sangat mulia tersebut masih dalam banyak wacana. Sering sekali dilakukan berbagai workshop untuk melaunching berbagai kekhasan lokal. Seiring dengan inisiatif penggalakan produk khas lokal, pemerintah Indonesia juga sedang menginisiasi aspek Haki produk dan komoditas lokal. Kemunculan komoditas/produk berindikasi geografis untuk berbagai komoditas pertanian layak kita acungi jempol. Kedua inisiatif, baik penggalakan produk khas lokal daerah maupun motivasi pendaftaran indikasi geografis layak kita apresiasi bersama. Harapan kedepan adalah "menaiki gelombang perubahan" daripada dipermainkan oleh "gelombang perubahan" itu sendiri.

Selengkapnya...

Agro-klustering UKM berbasis salak pondoh

Diserahkannya sertifikat indikasi geografis bagi salak pondoh Sleman membawa implikasi pada bagaimana mengelola salak pondoh pada level makro (kebijakan), meso (usaha) dan mikro (proses pemberian nilai tambah).

Sertifikasi indikasi geografis salak pondoh, sejauh manakah dapat berpengaruh terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat penghasil, pelaku ekonomi maupun ekonomi secara umum ? Apakah sertifikasi indikasi geografis secara umum dapat mempengaruhi itu semua ? ataukah hanya akan menjadi sertifikat tanpa dampak ?

Selengkapnya...

Kopi Buah Salak Pondoh Sleman

Kopi buah salak sebenarnya bukanlah sejenis minuman baru di Indonesia. Ia sudah banyak dibuat oleh saudara-saudara kita di Tapanuli Selatan sebagai salah satu minuman khas Tapanuli Selatan. Namun, inovasi biji salak ini kemudian diadopsi oleh beberapa inovator di beberapa daerah penghasil salak di Sleman. Hal ini semakin menambah inovasi anak bangsa untuk meningkatkan value dari hasil pertanian lokal.

Buah ini memiliki nama latin Salacca zalacca dan banyak ditanam di beberapa wilayah Indonesia. Beberapa diantaranya terkenal di beberapa wilayah seperti:
  • Salak sidempuan, dari Sumatera Utara
  • Salak condet, Jakarta
  • Salak pondoh, Sleman
  • Salak bali, Bali
Salak pondoh merupakan hasil utama beberapa kecamatan di wilayah Sleman dan beberapa wilayah Magelang.Di daerah Sleman, salak pondoh banyak ditanam di daeah Kecamatan Tempel, Turi, dan Pakem. Wilayah ini disebut sebagai wilayah wisata agro, dengan kekhasan daerah lereng pegunungan Merapi yang subur. Belum diperoleh sejak kapan tanaman salak dibudidayakan di wilayah-wilayah tersebut, namun yang jelas salak pondoh menjadi salah satu pendapatan utama masyarakat wilayah tersebut.

Gerbang salah satu perkebunan salak di wilayah Sleman


Dengan diserahkannya sertifikasi indikasi geografis, maka salak pondoh diakui kekhasannya dan diharapkan memiliki daya saing di pasar. Namun demikian, berbagai pihak masih meragukan pengaruh indikasi geografis pada harga pasar ? Apakah akan berpengaruh secara signifikan ? Nampaknya valorisasi hanya berbasis indikasi geografis semata belum bisa diharapkan, kecuali dilakukan inovasi yang memberikan nilai tambah pada buah salak.

Beberapa inovasi yang telah dilakukan antara lain, kripik buah salak, jenang buah salak dan sekarang minuman biji salak. Minuman biji salak ini memiliki potensi untuk dikembangkan, tentunya dengan dukungan secara kelembagaan maupun secara proses produksi. Dengan adanya inovasi kopi buah salak, diharapkan salak pondoh memiliki value added tinggi.

Seorang warga dusun Donoasih, Donokerto, Turi, Sleman yang bernama Supriyono melakukan pembuatan serbuk minuman biji salak pondoh. Meski belum diuji secara klinis, namun dianggap memiliki manfaat menurunkan tekanan darah tinggi dan asam urat.
 
Penjajal minuman biji salak pondoh
 
Supriyono mengaku bahwa ia belum berani memasarkan secara komersial karena masih mengurus perizinan. Namun demikian langkah inovasi ini perlu ditindaklanjuti berbagai pihak dan dikembangkan berbasis konsep ABG (Academic, Business dan Government). Namun untuk komoditas pertanian perlu ditambahkan satu lagi pelaku, yaitu suatu lembaga yang dapat menginisiasi inovasi lanjut, mungkin semacam LSM/NGO.

Proses produksi dasar minuman biji salak pondoh dapat dilihat di gambar berikut ini :
 
Proses produksi minuman salak pondoh

Biji salak yang semula dianggap limbah bisa diberikan nilai tambah melalui serangkaian proses sederhana. Simpleksitas pengolahan biji salak ini bukan berarti tanpa inovasi, namun inovasi diperlukan untuk memberikan taste atau citarasa. Belum pernah diadakan uji coba untuk melihat pengaruh pengolahan pada cita rasa. Hal ini perlu dilakukan karena proses pengolahan yang berbeda dapat mempengaruhi citarasa.

Kita ambil contoh pada citarasa kopi yang ternyata dipengaruhi oleh lama penyangraian (roasting), lama holding time yang turut mempengaruhi kadar air dan aktivitas zat organik. Meski terlalu awal untuk melihat inovasi di sisi citarasa, namun nantinya faktor-faktor inilah yang akan berpengaruh.

Kontinyuitas bahan baku juga penting untuk diperhatikan, karena tanpa memperoleh bahan baku yang kontinyu, maka produksi akan terhenti. Solusi yang mungkin bagi calon pengusaha produk berbasis salak adalah membuat pohon industri berbasis salak. Dengan adanya pohon industri berbasis salak, maka dapat diketahui produk nilai tambah apa saja yang bisa diusahakan dari salak. Calon usahawan dapat melihat potensi lain sekaligus memperhitungkan kebutuhan bahan baku.

Supriyono mengaku bahwa 1 kilogram biji salak dapat menghasilkan kurang lebih 1 ons bubuk. Maka berdasarkan hitungan ini perlu dilakukan hitungan kebutuhan bahan baku untuk menghasilkan sekian kilogram bubuk salak. 

Kita tahu, bahwa biji salak dapat diperoleh dari limbah orang memakan salak. Dengan perhitungan itu, dimanakah kira-kira mendapatkan biji salak ? Apakah "mulungi" biji salak dari penjual salak ? Ataukah membuat suatu usaha manisan, jenang, keripik salak sekaligus membuat usaha minuman biji salak ? Bagaimanakah kelembagaannya ? Apakah perlu dibentuk suatu kluster industri salak terintegrasi ?







Selengkapnya...