Monday, April 21, 2014

Membangun potensi agropolitan Sleman : antara mitos dan realitas ?

Pemerintah Republik Indonesia melalui kementrian-kemetrian maupun melalui dinas-dinas di daerah sedang menggalakkan produk lokal khas daerah untuk meningkatkan daya saing. Sayangnya, visi dan misi yang sangat mulia tersebut masih dalam banyak wacana. Sering sekali dilakukan berbagai workshop untuk melaunching berbagai kekhasan lokal. Seiring dengan inisiatif penggalakan produk khas lokal, pemerintah Indonesia juga sedang menginisiasi aspek Haki produk dan komoditas lokal. Kemunculan komoditas/produk berindikasi geografis untuk berbagai komoditas pertanian layak kita acungi jempol. Kedua inisiatif, baik penggalakan produk khas lokal daerah maupun motivasi pendaftaran indikasi geografis layak kita apresiasi bersama. Harapan kedepan adalah "menaiki gelombang perubahan" daripada dipermainkan oleh "gelombang perubahan" itu sendiri.

Indonesia telah meratifikasi perjanjian perdagangan WTO, sehingga apapun bisa masuk ke Indonesia tanpa hambatan. Hal ini sebenarnya layak kita prihatinkan, mengingat Indonesia tentunya belum cukup siap untuk memasuki skema itu. Berbagai upaya telah dilakukan agar Indonesia bukan hanya menjadi penonton dan korban dari ratifikasi tersebut. Okaylah, kita anggap bahwa kondisi itu menjadi given, bagi pelaku-pelaku usaha kecil dan menengah maupun bagi rakyat Indonesia. 

Terus terang saja, akar rumput kita belum mampu untuk bersaing. Sementara dunia secara global mengalami perubahan, akar rumput kita masih berfikir bagaimana dapat hidup di negeri sendiri dengan ancaman persaingan. Pelaku ekonomi level atas, para intelektual dan elit ekonomi barangkali sudah mahfum benar apa yang akan kita hadapi ke depan, namun akar rumput kita belum. Sementara itu akar rumput kita masih mengharapkan seorang Ratu Adil yang akan menyelamatkan bangsa ini dengan doa, persaingan ketat secara global mengharuskan akar rumput kita untuk beradaptasi. Antara mitos dan realita, antara harapan dan aksi.

Sementara kebijakan-kebijakan ekonomi harus disusun sedemikian rupa agar sesuai dengan transformasi ekonomi, kebijakan-kebijakan ekonomi tidak lepas dari konteks perpolitikan yang hanya memperhatikan balance of power, koalisi, oposisi dan lain sebagainya. Seakan antara konteks ekonomi dan politik memiliki hukum kausalitasnya tersendiri. Misalnya pembangunan industri mobil yang berbasis komponen lokal, yang sebenarnya bisa menggerakkan roda perekonomian kita, namun kebijakan-kebijakan menjadi tidak sinkron tatkala kausalitas politik berkata lain. Sementara kebijakan industri mobil nasional menuntut dukungan kebijakan pendukung, namun secara politis kebijakan low cost green car untuk mendongkrak popularitas "menghadirkan" mobil bagi kelas sederhana menjadi kontra-produktif.  Kausalitas kebijakan ekonomi nampaknya bergesekan dengan kausalitas kebijakan politis praktis.

Dalam kebijakan pertanian sering terjadi tumpang tindih dengan kebijakan perdaganagan. Dalam hal ketahanan pangan, dari sisi pertanian pemerintah dituntut untuk meningkatkan produksi pertanian namun disisi lain, prinsip dasar make-or-buy mewarani kebijakan perdagangan impor pangan. Dalam arti kata, lebih murah mengimpor daripada meningkatkan produksi. Jadilah tidak sinkron antara kebijakan pemberdayaan petani dan peningkatan produksi dengan katup-katup ekspor-impor.

Kembali pada permasalahan ketahanan ekonomi yang berbasis lokalitas, yang nampaknya berjalan dalam kecepatan dan percepatan yang lambat sekali, apakah kita mampu hidup di negeri sendiri dengan cara lama dan mitos yang lama ? Ekspor atau impor komoditas pangan ? Ataukah lahan yang ada digunakan untuk menanam komoditas ekspor ? Apakah dengan lahan yang sama, apakah lebih baik intensifikasi pertanian ditambah dengan industrialisasi pertanian non-pangan ?

Secara lebih sempit, pertanyaan bagi Sleman adalah, kebijakan bagaimana untuk membangun ekonomi pertanian Sleman dalam arti khusus maupun dalam arti luas ? Sleman boleh dikatakan Kabupaten paling subur di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya wilayah-wilayah utara. 

Suatu integrasi dapat dilakukan untuk membangun agropolitan yang kuat di Sleman. Kawasan-kawasan Tempel, Turi, Pakem, Cangkringan dan wilayah-wilayah dengan hasil eksotis pertanian dapat diintegrasikan dengan konsep agropolitan. Namun demikian, pendekatan yang dilakukan sekarang kurang tepat.

Perlu integrasi penyusunan kebijakan antara resource-based economy dengan knowledge-based economy. Resource-based economy yang mengandalkan hanya semata pada sumber daya yang ada kurang memadai. Knowledge-economy meletakkan knowledge sebagai leverage nilai tambah sumber daya yang telah ada.Barangkali kebijakan-kebijakan pemerintah dengan inisiatif pengembangan produk lokal dan motivasi sertifikasi indikasi geografis mengarah ke knowledge-economy.

Indikasi geografis merupakan Trade-Related-Intelectual-Right atau Hak Kekayaan Intelectual yang bisa digunakan untuk meleverage suatu komoditas lokal. Sedangkan konsep "one village one product" meleverage kapasitas membangun atau menciptakan produk lokal yang memiliki nilai tambah. Penciptaan produk bernilai tambah memerlukan knowledge atau pengetahuan. 

Pertanyaan mendasar adalah, mampukah warga Sleman mampu menciptakan produk bernilai tambah dengan basis keterlimpahan sumber daya hayati ?



No comments:

Post a Comment