Tuesday, April 22, 2014

Membangun Turi : Integrasi Agrowisata dan Agroindustri

Ketika jalan-jalan di seputaran kota Bogor, aku melihat sebuah pick-up parkir tak jauh dari pagari Istana Bogor. Pick up tersebut menjual buah salak pondoh. Ketika kutanya, darimana mendapatkan salak pondoh tersebut, sang penjual bilang berasal dari Turi, Sleman. Karena penasaran aku tanya pula, apakah langsung dari Turi ataukah melalui pedagang perantara, iapun menjawab ia dapat langsung dari saudaranya dari daerah Tempel, Sleman. Karena merasa memiliki Sleman dan dia merasa bahwa kakek-neneknya juga berasal dari Sleman kamipun lantas ngobrol dengan bahasa Jawa.


Salak pondoh, sebagaimana duku Palembang, durian Medan, carica Wonosobo merupakan buah khas suatu daerah. Apakah yang membedakan duku Palembang dengan duku dari daerah lain ? Apakah duku yang sama akan memiliki citarasa yang berbeda dengan daerah lain ?

Kekhasan kekayaan alam Indonesia mengilhami perbedaan citarasa karena iklim mikro atau microclimate yang ada.  Bibit kopi arabica yang ditaman di Gayo akan memiliki citarasa seduhan kopi dengan yang ditanam di Kawah Ijen, Jawa Timur. Begitu pula dengan buah salak yang memiliki nama latin Salacca zalacca, memiliki perbedaan citarasa ketika ditanam di tempat yang berbeda. Salah satu sentra penghasil salak adalah kawasan Sleman utara, tepatnya di kecamatan Turi, Tempel dan Pakem.

Konon katanya, buah salak ditanam di daerah Sleman tatkala Partodiredjo menerima bibit buah salak dari seorang berkewarganegaraan Belanda. Sejak saat itu tanaman salak ditanam di wilayah Magelang maupun Sleman hingga sekarang dan terkenal sebagai salak pondoh. Daerah Turi, merupakan daerah salak pondoh dengan kualitas prima. Namun dengan semakin ketatnya persaingan pasar buah salak pondoh, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan nilai salak pondoh. Bagaimanakah mengintegrasikan potensi salak pondoh, wisata dan agroinustri di wilayah Turi dengan salak sebagai titik awal ?

Meski saya sendiri banyak mengkritisi Michael Porter dengan teorinya "Keunggulan Kompetitif Bangsa", namun sedikit saja ide dia mengenai Cluster and the New Economics of Competition bisa kita pakai. Masyarakat Sleman memiliki jiwa gotong royong sebagai social capital atau modal sosial. Sayangnya modal sosial gotong royong dan kerjasama ini belum mampu untuk dieksplorasi lebih lanjut membentuk sebuah value-added system di dalam suatu wilayah. Kalaupun sudah terbentuk, kerjasama antar value-added system belum tercapai.

Kecamatan Turi merupakan sebuah wilayah yang memiliki potensi alam yang subur dengan iklim sejuk. Pertama-tama keunggulan komparatif wilayah itu harus kita akui karena sudah memiliki modal alam. Lalu kemudian bisakah menemukan keunggulan kompetitif dari klustering di wilayah tersebut.

Pemkab Sleman berkali-kali mendengungkan berbagai konsep pengembangan, seperti misalnya agrowisata, kampung wisata dan "one village one product". Namun konsep-konsep tersebut kalaupun terlaksana hanya berlangsung beberapa waktu saja.

Kawasan Desa Wisata Ledoknongko Turi

Kawasan Desa Wisata Kelor Turi

Sebuah plang di Kecamatan Tempel menuju Turi


Perlunya integrasi dengan pelaku komersial penyedia jasa travel agar bisa di-arrange paket wisata Jogja yang memasukkan agrowisata Turi. Agrowisata integratif tersebut bukan hanya menyajikan kesenian setempat dan keindahan alam, namun juga menyajikan pembuatan produk nilai tambah lain seperti jenang salak, minuman wedang biji salak (kenthos), keripik salak dan lain sebagainya.







No comments:

Post a Comment