Monday, April 21, 2014

Agro-klustering UKM berbasis salak pondoh

Diserahkannya sertifikat indikasi geografis bagi salak pondoh Sleman membawa implikasi pada bagaimana mengelola salak pondoh pada level makro (kebijakan), meso (usaha) dan mikro (proses pemberian nilai tambah).

Sertifikasi indikasi geografis salak pondoh, sejauh manakah dapat berpengaruh terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat penghasil, pelaku ekonomi maupun ekonomi secara umum ? Apakah sertifikasi indikasi geografis secara umum dapat mempengaruhi itu semua ? ataukah hanya akan menjadi sertifikat tanpa dampak ?


Berbeda dengan kopi arabika yang sekarang ini memperoleh banyak manfaat dari sertifikasi, untuk salak pondoh barangkali harus ekstra kerja keras. Kopi arabika telah memiliki market diluar negeri maupun dalam negeri karena komoditas ini unik. Salak pondoh disisi lain perlu lebih banyak "polesan" dalam bentuk "pencitraan" komoditas maupun dalam bentuk value-added sehingga menjadi produk nilai tambah.

Selain itu, kebijakan pemerintah daerah (baca Sleman) harus sinkron dengan kebijakan-kebijakan yang seyogyanya dilakukan oleh (masyarakat pemangku indikasi geografis). Dalam kasus indikasi geografis robusta kintamani Bali, sudah ada sistem subak banian yang secara kultural mengintegrasikan elemen-elemen petani sehingga muncul kohesivitas kelompok petani. Bagaimanakah dengan salak pondoh ? Apakah model pengembangan wilayah agropolitan dan agrowisata bisa menjadi payung bagi terbentuknya kohesivitas antar kelompok pelaku ? 

Dalam paradigma saya, modal sosial dipadukan dengan kelembagaan diperlukan dalam membentuk kohesivitas antar pelaku. Selama ini kebijakan lembaga kurang sinkron dengan realitas interaksi sosial-ekonomi di suatu wilayah.

Contoh paling sederhana adalah pendirian terminal/pasar agropolitan di beberapa wilayah Sleman. Apakah bangunan yang diperuntukkan untuk bertemunya pelaku pasar salak pondoh benar-benar dapat memunculkan aktivitas sosial-ekonomi ? Pasar Agropolitan Donokerto apakah bisa berjalan sesuai dengan peruntukkannya sebagai bangunan yang bisa mempertemukan antar pelaku ?

Penulis mengusulkan suatu model integratif multilayer bagi pembentukan agro-klustering salak pondoh. Pendekatan model bersifat multilayer karena melibatkan keputusan dari berbagai aspek. Indikasi geografis berarti melakukan defisini kewilayahan dan bersifat makro, namun perlu dilihat pula dari aspek interaksi antar pelaku usaha salak pondoh. Boleh jadi sebuah kawasan, misalnya desa Donokerto menghasilkan salak pondoh dalam jumlah besar, namun interaksi tradisional yang sudah ada dari jaman dahulu terletak di pusat kecamatan Turi, Tempel maupun Pakem. Sehingga diperlukan integrasi antara penentuan titik temu lokasi berbasiskan indikasi geografis yang berbasis GIS dengan titik temu berbasiskan interaksi sosial ekonomis, sehingga terdapat titik simultan yang menggabungkan titik indikasi geografis dengan titik indikasi sosial-ekonomis. 

Salah satu ketidaksesuaian antara desain titik temu berupa pasar Agropolitan dengan titik temu sosio-ekonomis terdapat pada contoh Agropolitan yang telah disebutkan di atas. 

Pasar Agropolitan di sebuah Kelurahan. Mangkrak tidak sesuai peruntukan

Berdasarkan data tahun 2006, luas lahan dalam hektar adalah kecamatan Turi dengan produksi 289.337 kuintal. Potensi pengembangan buah dalam bentuk buah segar adalah Kecamatan Turi yang tersebar ke dalam beberapa kelurahan.


Apabila data yang digunakan semata pada data geografis lahan dan produksi, maka penentuan agro-kluster belum memadai. Penentuan agro-klustering juga harus memasukkan berbagai data secara terintegrasi sehingga memunculkan kluster industri berbasis salak pondoh. 



No comments:

Post a Comment